Minggu, 19 Mei 2013

3 days in Paradise



3 days in paradise... Begitulah yang bisa saya gambarkan saat berada di Maratua, Kalimantan timur. Alam dan bawah laut pulau ini membuat saya lemas tak berdaya. Beruntungnya saya bisa diberikan kesempatan merasakan keindahan yang luar biasa.Perjalanan ini dimulai dari Jakarta-Balikpapan, Balikpapan-Berau dan lanjut Berau-Maratua. Memang cukup panjang perjalanan menuju kesana. Tapi itu semua terbayarkan oleh panorama yang menyegarkan mata dan perasaan.  Sejujurnya3 hari tidaklah cukup untuk menikmati pesona dari pulau ini.



Maratua adalah salah satu gugusan pulau cantik terluar indonesia yang berada di Laut Sulawesi dan berbatasan dengan negara Malaysia. Perjalanan menggunakan speedboat dari  Berau menuju pulau ini memakan waktu hingga 4 jam, melewati kawasan sungai dan hutan mangrove di sepanjang jalannya.  Perjalanan saya sore itu juga disambut dengan pelangi yang menghiasi langit serta dibalik rimbunnya hutan mangrove. Haripun sudah gelap saat saya tiba di Maratua Paradise Resort , tempat kami menginap. Resort yang disebut Water Villa dengan bentuk rumah panggung dan memiliki beberapa kamar yang letaknya berada diatas air. Lagi-lagi saya merasa beruntung, mendapatkan kamar dengan posisi yang tepat, berada di tengah-tengah tanpa terhalang dengan kamar yang lain. Juga bisa menikmati indahnya bintang dimalam hari dari balkon kamar dan menuju satu titik pandangan menatap lurus pada saat matahari terbenam.






Menjelang pagi hari saya terbangun dan meloncat cepat dari tempat tidur lalu bergegas menuju balkon untuk melihat kondisi pulau ini pada pagi hari. WOW! Ternyata pemandangannya jauh lebih indah dari yang saya bayangkan sebelumnya. Langit biru yang cerah diisi dengan matahari yang mulai menampakan wujudnya, laut hijau tosca dan diiring suara gelombang air yang membuat saya mengambil nafas panjang, menutup mata dan mencoba menikmati nya sambil berucap “GOD, IS THIS HEAVEN?.......”
Selain keindahan alamnya, pulau ini juga sangat terkenal dengan dunia bawah lautnya. Keindahan dari tempat ini membuatnya menjadi salah satu dive sites yang paling ingin dikunjungi  para penyelam. Hari pertama saya dan teman-teman diving di Maratua Reef. Tanpa berlama-lama kami pun segera turun kebawah. Di spot ini saya banyak melihat Bumphead fish, seperti namanya Bumphead merupakan ikan yang selalu membenturkan kepalanya ke karang untuk mencari makan dan juga kepalanya berfungsi sebagai pertahanan diri. Karang-karangnyapun berwarna-warni seperti sedang menyelam di taman bunga :D.


our beloved photographer @capburungwalet



everytime i see the comfy bed, i always want to jump on it :p



Dive kedua pada siang hari kami memilih untuk pindah spot. Namun beberapa teman lainnya memilih spot yang sama seperti sebelumnya. Fusilier Point lah yang menjadi pilihan kami di dive kedua ini. Pada saat briefing, Dive Master mewanti-wanti kami bahwa arus di point ini sangat kencang. Jadilah saya menggunakan sarung tangan untuk berjaga-jaga jikalau harus berpegangan dan bertahan dikarang. Warna-warna karang memang cantik tapi tidak sembarang bisa pegangan di karang ini karena beberapa jenis karang ada yang beracun, menimbulkan luka dan gatal-gatal yang cukup lama penyembuhannya.  Ternyata arus di point ini masih bisa ditaklukan, tidak sekuat yang sebelumnya Dive Master kami katakan. Baru saja turun di kedalaman 28 meter kami sudah disambut oleh Pari Blue Spotted yang ukurannya cukup besar sekitar  1,5 meter. Pari ini pun jadi pemandangaan kami sejenak sampai pada saat dia berenang kencang kearah saya yang posisi saya tepat  di depannya. Ini akibat cahaya (flash) kamera pada saat teman saya mengabadikan gambarnya. Mungkin pari itu shocked, tapi sesungguhnya saya jauh lebih shocked sampai berteriak-teriak kalang kabut karena seperti ingin diserang makhluk laut yang ukuraannya cukup besar ini. Cerita ini jadi cerita lucu pada saat mereview penyelaman kami dan ditertawakan oleh teman-teman saya. Hahaha...



Berakhirnya hari di Maratua, diujung dermaga saya menikmati indahnya matahari yang mulai tenggelam, angin yang meniup halus perasaan ini, beer dingin yang memanjakan tenggorokan dan juga lagu-lagu dari Lisa Ekhdal bernuansa Jazz merupakan penutup hari yang sempurna. Sayapun siap menyambut hari esok.



Pagi yang cerah dihari kedua membuat semangat untuk melakukan aktifitas di pulau ini. Seusai sarapan kami bersiap-siap melakukan penyelaman lagi. Spot yang ditawarkan pagi ini adalah Turtle Traffic. Sesuai dengan namanya disini bisa melihat banyaknya penyu yang berseliweran diantara kami. Dari yang sangat besar sampai yang kecil. Arus yang sangat ringan membuat santai dipenyelaman terakhir. Puas sekali melihat penyu dengan beragam aktifitas yang mereka lakukan. Berbaring di karang, berenang diatas kepala saya dan dilatar belakangi matahari yang menembus dan memunculkan bentuk siluet  indah dari penyu tersebut, cukup memanjakan mata. Jenis penyu di spot ini adalah penyu hijau dan hawksbill turtle. Dari mulai 5 meterpun kita sudah bisa melihat mereka dengan jelas sampai dikedalaman 20 meter. Selain penyu sebenarnya ada beberapa jenis makhluk hidup yang bisa kita temui seperti, Moray Eel, Nudi Branches, Mantis Shrimp dan juga lobster. Tapi tetap, Raja di spot ini adalah penyu dengan otomatis mata saya hanya berpusat pada makhluk laut penjelajah ini.  Hari kedua memang tidak terlalu banyak aktifitas, hanya diving satu kali di pagi hari, istirahat dan melakukan photo session di sekitaran pulau pada sore hari.










Minggu, 28 April 2013

They sting my heart in Kakaban....




Pagi itu adalah pagi terakhir kami di pulau Maratua. Ini menandakan berakhir sudah perjalanan kami di pulau cantik ini. Kamipun bersiap-siap membereskan barang-barang bawaan. Beraat sekali meninggalkan tempat ini. Banyak memori indah yang saya rasakan dengan teman-teman saya.
Sebelum akhirnya meninggalkan Maratua saya dan teman-teman menyempatkan diri mengunjungi danau yang hanya ada dua di dunia. Kenapa hanya ada dua?  Dikarenakan danau-danau ini memiliki ubur-ubur yang telah berevolusi. Mereka berevolusi akibat air laut yang terperangkap di 





Pulau Kakaban, ditambah dengan air dari dalam tanah dan air hujan sejak 2 juta tahun lalu. Makanya dinamakan Pulau Kakaban dalam bahasa daerah yang artinya memeluk, Pulau yang memeluk danau. Danau Kakaban merupakan danau prasejarah yaitu zaman peralihan Holosin. Luasnya sekitar 5 km², berdinding karang terjal setinggi 50 meter, yang mengakibatkan air laut yang terperangkap tidak lagi bisa keluar, menjadi danau. Karena perubahan dan evolusi yang cukup lama oleh air hujan dan air tanah, air danau ini kemudian menjadi lebih tawar dibandingkan laut yang ada di sekitarnya. Perubahan ini berdampak juga pada adaptasi fauna laut yang ada di dalam danau itu.  Tempat ini hanya bisa dijumpai di Danau ubur-ubur Palau,  Kepulauan Micronesia di kawasan Tenggara Laut Pasifik dan satu lagi di Indonesia, yaitu Pulau Kakaban Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.



 Jaraknya dari Maratua pun tidak jauh. Kami menggunakan speedboat menuju Pulau ini. Sesampainya disana speedboat kami berlabuh di dermaga panjang pulau Kakaban. Kami harus berrjalan menaiki dan menuruni anak-anak tangga terlebih dahulu sehingga akhirnya kami menemukan danau yang letaknya berada di tengah-tengah pulau. Tidak sabar untuk merasakan sensasi berenang bersama ubur-ubur saya dan teman-teman berganti pakaian dan langsung menyeburkan diri. Huaahh! Karena ubur-ubur memiliki tekstur yang kenyal seperti jelly jadi berasa berenang di kolam cendol. Seperti yang sudah saya katakan, ubur-ubur ini telah berevolusi dan tidak memiliki sengatan jadi bebas sekali mau berenang sambil menyentuh fauna laut unik ini.
Jika diperhatikan ubur-ubur disini berenang tak lazim seperti ubur-ubur pada umumnya. Mereka berenang terbalik seperti kaki di atas dan kepala di bawah. 
Nah itu dikarenakan karena terbatasnya makanan, akhirnya mereka beradaptasi dengan melakukan simbiose mutualistis dengan algae. Algae adalah penghasil makanan dan harus memasak makanan dengan bantuan sinar matahari. Cerita simbiosis ini sangat menarik. Ubur-ubur Pulau Kakaban menempatkan algae pada bagian kakinya, karena ganggang berkepentingan untuk mendapatkan matahari sebagai sarana melakukan fotosistesa, sang ubur-ubur akhirnya berenang terbalik. Cara berjalan yang unik inilah yang menarik para ilmuwan dan penyelam untuk mengetahui evolusi terhadap fauna laut yang akhirnya berperilaku aneh demi mempertahankan hidup mereka. Catatan para penyelam juga memberikan gambaran, hewan-hewan yang ada di danau ini mempunyai cahaya lebih berwarna warni ketika hari semakin gelap. Diduga, pada danau ini banyak akan dijumpai jenis-jenis baru.




Ubur-ubur ini memang sama kali tidak menyengat. Namun mereka menyengat hati saya untuk membuat saya kembali ke Pulau ini suat hari nanti... Puas dan bangga meninggaalkan jejak di danau ini. Berfoto-foto dengan ribuan macam pose yang saya keluarkan :p hihihi... thankyou Kakaban



@pinneng as Underwater photographer

Jumat, 11 Januari 2013

KESEDERHANAAN SUKU BADUY


Sore itu hujan membasahi kawasan terminal Ciboleger Kabupaten Lebak Banten. Dikawasan inilah saya bisa menemukan dan melihat kehidupan dari suku baduy.  Suku dari suatu kelompok masyarakat adat Sunda dan mereka juga merupakan salah satu suku yang masih menerapkan isolasi dari dunia luar. Suku baduy sendiri terbagi menjadi dua yakni, suku baduy  dalam dan suku baduy luar. Pada perjalanan kali ini saya hanya bisa menyempatkan diri untuk megunjungi kampung suku baduy luar, karna kampung suku baduy dalam sangat jauh diatas bukit.


Kampung suku baduy luar berada tak jauh dari perkampungan masyarakat diluar suku baduy. Hanya berjalan sekitar 5 menit saja. Banyak perbedaan yang saya lihat pada suku baduy luar dan suku baduy dalam. Aturan adat pada suku baduy luar tidaklah seketat aturan adat suku baduy dalam. Salah satu nya seperti, bolehnya suku baduy luar dalam menggunakan kendaraan untuk menuju suatu tempat. Sedangkan aturan adat pada suku baduy dalam, menggunakan kendaraan adalah pelanggaran terbesar bagi mereka. Mereka harus berjalan kaki tanpa menggunakan alas kaki untuk menuju tempat tujuannya meskipun tujuannya di belahan bumi lainnya. Tiba-tiba  terbesit dalam fikiran saya “Tapi kan ga ada yang liat mereka naik kendaraan atau tidak”. Ya memang tidak ada yang akan memergoki mereka saat naik kendaraan umum, tapi pada saat mereka kembali ke kampungnya, mereka akan terkena sakit keras. Mereka juga tidak diperbolehkan mengenakan baju selain baju khas suku baduy yang berwarna putih dan hitam dan juga dijahit menggunakan tangan sendiri. Tak lupa ikat kepala juga merupakan atribut khas suku ini.

Melihat kehidupan anak-anak suku baduy membuat saya cukup tercengang. Anak-anak suku baduy sudah mulai bekerja pada umur 6 tahun. Bisa dibilang pekerjaan mereka cukup berat. Biasanya mereka bekerja sebagai pengangkut barang. Mengangkut buah-buahan seperti durian dan bahan pangan yang dibawa dari kampung luar untuk dibawa kerumah juragannya, yang rata-rata jauh diatas bukit sana. Sekali membawa pikulan beratnya bisa mencapai 25 sampai 30 kg. Cukup berat hitungannya untuk seusia mereka. Bayarannya pun berkisar dari 5 ribu rupiah sampai 15 ribu, tergantung dari beratnya pikulan yang dibawa. Jarak yang jauh dan cuaca hujan tidak menyurutkan semangat mereka untuk bekerja. Tersirat dari wajah mereka bahwa mereka menikmati kehidupannya, menikmati pekerjaannya dan bersyukur dengan hasil yang didapat. Dan yang terpenting adalah mereka bahagia....

Malampun menjelang, saat itu saya mendapatkan kesempatan untuk menginap di salah satu rumah suku baduy luar. Rumah mereka berupa rumah panggung berbilik bambu dan beratapkan rumbai. Menginap satu malam di rumah ini mengajarkan saya arti kesederhanaan hidup. Tak ada penerangan selain lampu pijar, tidurpun tidak beralaskan kasur empuk seperti yang sering saya rasakan. Dinginnya malam menyelimuti akibat hujan yang tidak henti-hentinya mengguyur kampung ini. Diatas jam 6 sore tidak ada lagi suara keramaian kecuali jangkrik. Akhirnya say pun mengurungkan niat untuk mandi karena letak kamar mandi cukup jauh dan berada di pinggir sungai. Pengalaman ini membuat saya semakin bersyukur atas apa yang telah Tuhan berikan untuk saya. Belajar dari suku baduy merupakan suatu pelajaran yang sangat berarti. Kesederhanaan hidup........






Rumah-rumah kecil yang dinamakan  LEUIT ini adalah ketahanan pangan masyarakat suku baduy. Isi dari LEUIT ini adalah padi dari hasil ladang mereka. Uniknya mereka tidak menggunakan padi ini untuk makan sehari-hari melainkan membeli beras dari luar kampung. Padi-padi yang disimpan di LEUIT ini hanya digunakan pada saat keadaan mendesak. Bahkan usia padi dalam tempat ini ada yang mencapai 150 tahun. LEUIT ini biasanya ditempatkan cukup jauh dari kampung dengan alasan jikalau terjadi kebakaran pada kampung, LEUIT ini tetap aman.
Beruntungnya saya tak perlu jauh-jauh mendaki bukit untuk dapat bertemu masyarakat suku baduy dalam. Kebetulan sekali saya bertemu mereka yang sedang turun kebawah untuk membeli bahan pangan.

tas inilah yang selalu melekat di tubuh masyarakat suku baduy
Banyak souvenir khas suku baduy yang bisa kita dapatkan. Sepert di foto, bapak ini sedang membuat tas khas suku baduy yang dikenal dengan KOJA. Koja terbuat dari bahan kulit kayu yang dianyam dengan tangan. 


Sebagian mata pencaharian wanita suku baduy adalah menenun. Kain-kain tenunan ini juga menjadi souvenir cantik untuk para wisatawan yang mengunjungi kampung ini.