Jumat, 11 Januari 2013

KESEDERHANAAN SUKU BADUY


Sore itu hujan membasahi kawasan terminal Ciboleger Kabupaten Lebak Banten. Dikawasan inilah saya bisa menemukan dan melihat kehidupan dari suku baduy.  Suku dari suatu kelompok masyarakat adat Sunda dan mereka juga merupakan salah satu suku yang masih menerapkan isolasi dari dunia luar. Suku baduy sendiri terbagi menjadi dua yakni, suku baduy  dalam dan suku baduy luar. Pada perjalanan kali ini saya hanya bisa menyempatkan diri untuk megunjungi kampung suku baduy luar, karna kampung suku baduy dalam sangat jauh diatas bukit.


Kampung suku baduy luar berada tak jauh dari perkampungan masyarakat diluar suku baduy. Hanya berjalan sekitar 5 menit saja. Banyak perbedaan yang saya lihat pada suku baduy luar dan suku baduy dalam. Aturan adat pada suku baduy luar tidaklah seketat aturan adat suku baduy dalam. Salah satu nya seperti, bolehnya suku baduy luar dalam menggunakan kendaraan untuk menuju suatu tempat. Sedangkan aturan adat pada suku baduy dalam, menggunakan kendaraan adalah pelanggaran terbesar bagi mereka. Mereka harus berjalan kaki tanpa menggunakan alas kaki untuk menuju tempat tujuannya meskipun tujuannya di belahan bumi lainnya. Tiba-tiba  terbesit dalam fikiran saya “Tapi kan ga ada yang liat mereka naik kendaraan atau tidak”. Ya memang tidak ada yang akan memergoki mereka saat naik kendaraan umum, tapi pada saat mereka kembali ke kampungnya, mereka akan terkena sakit keras. Mereka juga tidak diperbolehkan mengenakan baju selain baju khas suku baduy yang berwarna putih dan hitam dan juga dijahit menggunakan tangan sendiri. Tak lupa ikat kepala juga merupakan atribut khas suku ini.

Melihat kehidupan anak-anak suku baduy membuat saya cukup tercengang. Anak-anak suku baduy sudah mulai bekerja pada umur 6 tahun. Bisa dibilang pekerjaan mereka cukup berat. Biasanya mereka bekerja sebagai pengangkut barang. Mengangkut buah-buahan seperti durian dan bahan pangan yang dibawa dari kampung luar untuk dibawa kerumah juragannya, yang rata-rata jauh diatas bukit sana. Sekali membawa pikulan beratnya bisa mencapai 25 sampai 30 kg. Cukup berat hitungannya untuk seusia mereka. Bayarannya pun berkisar dari 5 ribu rupiah sampai 15 ribu, tergantung dari beratnya pikulan yang dibawa. Jarak yang jauh dan cuaca hujan tidak menyurutkan semangat mereka untuk bekerja. Tersirat dari wajah mereka bahwa mereka menikmati kehidupannya, menikmati pekerjaannya dan bersyukur dengan hasil yang didapat. Dan yang terpenting adalah mereka bahagia....

Malampun menjelang, saat itu saya mendapatkan kesempatan untuk menginap di salah satu rumah suku baduy luar. Rumah mereka berupa rumah panggung berbilik bambu dan beratapkan rumbai. Menginap satu malam di rumah ini mengajarkan saya arti kesederhanaan hidup. Tak ada penerangan selain lampu pijar, tidurpun tidak beralaskan kasur empuk seperti yang sering saya rasakan. Dinginnya malam menyelimuti akibat hujan yang tidak henti-hentinya mengguyur kampung ini. Diatas jam 6 sore tidak ada lagi suara keramaian kecuali jangkrik. Akhirnya say pun mengurungkan niat untuk mandi karena letak kamar mandi cukup jauh dan berada di pinggir sungai. Pengalaman ini membuat saya semakin bersyukur atas apa yang telah Tuhan berikan untuk saya. Belajar dari suku baduy merupakan suatu pelajaran yang sangat berarti. Kesederhanaan hidup........






Rumah-rumah kecil yang dinamakan  LEUIT ini adalah ketahanan pangan masyarakat suku baduy. Isi dari LEUIT ini adalah padi dari hasil ladang mereka. Uniknya mereka tidak menggunakan padi ini untuk makan sehari-hari melainkan membeli beras dari luar kampung. Padi-padi yang disimpan di LEUIT ini hanya digunakan pada saat keadaan mendesak. Bahkan usia padi dalam tempat ini ada yang mencapai 150 tahun. LEUIT ini biasanya ditempatkan cukup jauh dari kampung dengan alasan jikalau terjadi kebakaran pada kampung, LEUIT ini tetap aman.
Beruntungnya saya tak perlu jauh-jauh mendaki bukit untuk dapat bertemu masyarakat suku baduy dalam. Kebetulan sekali saya bertemu mereka yang sedang turun kebawah untuk membeli bahan pangan.

tas inilah yang selalu melekat di tubuh masyarakat suku baduy
Banyak souvenir khas suku baduy yang bisa kita dapatkan. Sepert di foto, bapak ini sedang membuat tas khas suku baduy yang dikenal dengan KOJA. Koja terbuat dari bahan kulit kayu yang dianyam dengan tangan. 


Sebagian mata pencaharian wanita suku baduy adalah menenun. Kain-kain tenunan ini juga menjadi souvenir cantik untuk para wisatawan yang mengunjungi kampung ini.



3 komentar:

  1. whaaaa >.< uda pernah ke baduy juga ya.
    tapi sayang ga sekalian ke baduy dalem nya^^

    miss this place T.T

    BalasHapus
  2. hehe iya waktunya mepet banget untuk ke suku baduy dalam :(

    BalasHapus
  3. hihi, curi-curi waktu buat trip tapi justru kadang malah seru^^
    tapi koq kaya nya uda banyak pohon yg ditebangin yah,
    udah ga keliatan rimbun lagi :(

    BalasHapus